Wednesday, November 19, 2014

BAPAK BAGINDA MUCHTAR@ BBM: Dalam Rombongan - page 116

Dalam rombongan itu tak ketinggalan pula ikut anak kandunganku. Kami berjalan dan terus berjalan, di mana petang di mana malam dengan haus harus minum, lapar makan, ngantuk tidur. Kami berkumpul, kami mengaji, kami berlatih, kami bergerak, lain sebagainya. 


Tahukah mereka-mereka itu, hendak ke mana mereka-mereka itu aku bawa? Aku pun tak tahu, apalagi mereka-mereka itu. Yang terang aku lakukan di perjalanan, kalau ada orang kehausan, kami beri seteguk air untuk melepaskan dahaga. Dan kami berjalan terus dan terus berjalan.  

Orang mengatakan, ‘berjalan sampai ke batas, belayar sampai ke pulau.’ Dan bertahun-tahun sudah lamanya kami berjalan. Ada yang begitu sahaja keluar dari rombongan kami dengan kembali ke pangkalannya. Ada pula yang meninggal dalam perjalanan dan tak kurang pula memasuki barisan kami untuk ikut dalam rombongan kami berjalan, dan aku berjalan terus di muka. 


Ada yang berjalan dalam kelesuan dan tak kurang pula berjalan dengan aku dengan penuh keyakinan dan tekun. Dan begitulah di perjalanan yang telah memakan waktu bertahun-tahun itu, aku sampai pada suatu batas yang tak ada jalan bagiku untuk meneruskannya.


Aku berhenti berjalan. Dan di balik tirai besi sebagai batas perjalananku itu, aku melihat suatu pemandangan yang indah lagi menarik. Seolah-olah suatu kebun, di mana berdiri sebuah rumah sebagai istana dengan pohon-pohon yang rendang daunnya, dengan berbuahkan buah-buahan yang lazat cita-rasanya. Di tengah kebun mengalir sebuah sungai yang amat jernih lagi sejuk, mendatangkan keinginan bagi musafir untuk meminumnya, apalagi kalau dapat berkecimpung (mandi-manda) di dalamnya. 



Aku melihat dan melihat. Dan di mukaku kulihat sebuah pintu untuk masuk, dengan berlukiskan di depannya: ‘Hanya untuk satu orang dan orangnya ialah yang paling lebih dahulu sampai.’ Untuk itu, orang harus melalui satu titian, titian yang hanya untuk satu orang pula. 


Setahuku, waktu itu rombonganku lah yang mula-mula sampai di Sana dan akulah orang yang mula-mula sampai. Jauh di sana… di kejauhan aku lihat banyak pula rombongan rombongan lain lagi melakukan perjalanan pula. Ke mana rombongan mereka itu, tak tahu, tetapi mereka masih jauh lagi.



Aku melihat ke rombonganku yang belum begitu banyak, termasuk anak kandungku. Semuanya pada melihat padaku dan apa kataku padanya? "Anak-anakku sekalian, pengikut-pengikutku, ketahuilah olehmu bahawa kalau kita melihat ke muka, seolah-olah perjalanan kita ini telah sampai di batas. Sampai di sini sahaja gerangan engkau kubawa berjalan? Lihatlah ke pintu itu, di mana tertulis yang mana kamu semuanya dapat membacanya: " HANYA UNTUK SATU ORANG " dan orangnya ialah yang paling dulu sampai.’ Dalam hal ini, nyata sudah orangnya ialah Aku, kerana cubalah engkau lihat ke sana,” sambil aku menunjuk ke jurusan lain, “selain dari rombongan kita, belum ada rombongan lain yang lebih dahulu dari kita sampai di sini. 



Keinginanku sangat besar untuk selamalamanya bersama kamu, akan tetapi apa yang kulakukan sekarang? Aku merasa kuat sekali tarikan dari dalam terai besi itu untuk memasukinya. Tak sanggup aku menahannya. Jangankan kalian, anak kandungku sendiri tak dapat aku membawanya. 


Aku harus pergi menurutkan tarikan ini dan engkau sekalian akan saya tinggalkan di sini bersama anak kandungku, dan kepada Allah kuserahkan segala sesuatunya. Bermohonlah bersama-sama kepada Tuhan Yang Maha Pengasih lagi Penyayang, semoga aku dapat kembali mencari jalan lain untuk meneruskan perjalanan kita yang berisi ini. Aku yakin jalan kitalah yang sebagus-bagusnya atau yang sebaik-baiknya jalan; satu jalan yang memberi nikmat, tidak dimurkai dan tidak pula sesat. 


Aku, rasanya belum dipanggil untuk selama-lamanya. Aku dan kamu masih di dalam perjalanan; suatu perjalanan yang kunamakan berjalan mengadakan pengakuan untuk mendapat Pengakuan. Dan aku tak kuat bertahan lagi. Aku harus pergi, pergi memasuki tirai besi ini melalui pintu yang bertulisan itu dan tunggulah sampai aku kembali.” Aku memasuki pintu itu dengan hati-hati menurut gerak langkah yang berlangkahkan. Aku lalui titian yang hanya untuk satu orang itu dengan mudah dan sampailah aku di dalam kebun itu. Aku berjalan menyusur tepi sungai yang jernih itu. Segala sesuatunya yang aku lihat menakjubkan aku semuanya.


Siapakah gerangan punya rumah yang seperti istana itu? Siapa penghuninya? Ingin benar aku hendak mengetahuinya. Dalam pada itu bergerak, dan aku berjalan kaki, kuterus… terus selangkah demi selangkah. Aku mendengar suara-suara orang ketawa bersuka-ria bersama-sama. Aku menoleh ke sana, ke tempat datangnya suara itu. Aku lihat mereka sedang bersimbur-simbur air dengan riang gembiranya, dan di tengah-tengah mereka itu aku lihat seorang puteri dengan pandangan yang mengasyikkan melihat kepadaku. Rupanya mereka-mereka itu sedang memandikan tuan puteri tersebut. Mereka bergembira ria melihat kedatanganku dan dari mulut mereka berhamburan kata-kata, 

“Sudah datang orang yang dinanti.”



Apa kataku di kala itu? Aku tak dapat berkata sepatah jua, selain dari kehairanan dan ketakjuban yang aku perlihatkan. Melihat kepada wajah tuan puteri itu, aku rasanya pernah bertemu dan kenal baik padanya. Akan kutegur, kalau bukan? Aku membisu seribu bahasa. Aku melihat tuan puteri itu sesudah di mandikan, dituntun bersama-sama dan diiringi sampai masuk ke dalam rumah yang berada dalam kebun itu. Dan sesudah itu apa yang terjadi? 


Mereka-mereka itu pada mendatangiku dan membawaku ke dalam sungai yang jernih itu dan memandikanku pula dan menyiram aku dengan segala macam wangi-wangian. Aku terpesona dan tak berdaya berbuat sesuatu apa-apa selain dari menurut. Aku dikenakan pakaian yang selama ini belum pernah aku mengenalnya; pakaian kebesaran. Dan aku dituntun memasuki rumah tuan puteri itu dan didudukkan aku di hadapannya yang lagi duduk di kerusi kedudukannya pula. 



Seorang demi seorang mereka-mereka yang tidak begitu banyak itu menghilang dari pemandangan kami dan tinggallah kami berdua sahaja. Di hadapan kami, di antara kami berdua terletak sebuah meja yang berisikan minuman dan buah-buahan dari pohon-pohon yang tumbuh di dalam kebun itu. Aku memandang kepadanya dan dia memandang pula kepadaku. Apa kataku dan apa pula kutanya? Kataku, “Engkaukah ini?”
“Ya,” sahutnya. “Kenapa sendiri sahaja datang? Dan di mana anak-anak ditinggalkan?”


Kataku : " Ketahuilah oleh mu dik, semenjak aku engkau tinggalkan, corak kehidupanku sudah berubah. Aku bukanlah lagi sebagai seorang buruh seperti yang engkau kenal selama ini, melainkan seorang hamba yang sentiasa mengembara dan mengembara menurutkan rasa perasaan, ke mana gerak menentukan. Dan begitulah dengan tak kuduga sedikitnya dalam pengembaraanku, aku bisa sampai di sini dan dapat pula bertemu denganmu. Tentang anak-anak kita yang kau tanyakan, semenjak engkau pergi, dia ada sentiasa bersamaku, kecuali anak kita yang tua yang telah bisa berpisah dengan kita. Dia bersekolah di kota dan tinggal sama orang lain. "


.



No comments:

Post a Comment